KENAPA HARUS KE KAMPUNG INGGRIS?


Hallo! Kali ini aku mau cerita tentang pengalaman dan pelajaran yang aku dapatkan selama mengambil kurus Bahasa Inggris di Kampung Inggris, Kediri. 

Sebenarnya, sudah lama berniat untuk pergi ke Pare. Bahkan, sejak masih kuliah, aku sempat berencana ke sana. Kemampuan Bahasa Inggris memang sangat diperlukan oleh semua orang saat ini. Tapi, selama menjadi mahasiswa, nggak bisa mengumpulkan cukup uang untuk membiayai kehidupan berbulan-bulan di sana dan membayar biaya lesnya. Akhirnya, aku tunda sampai lulus kuliah dan bekerja selama beberapa bulan.

Kurang lebih, butuh waktu 7 bulan untuk aku merencanakan perjalanan ini. Sambil menabung saat sudah bekerja, aku juga mencari informasi tentang lembaga-lembaga kursus di sana. Sampai akhirnya, tekadku bulat untuk mendaftarkan diri pada program Collaboration Test English School.

Banyak orang bilang, "Belajar bahasa Inggris nggak usah jauh-jauh ke Pare. Di Bandung juga bisa." Aku sendiri sependapat dengan pernyataan itu. Hingga selesai belajar di sana dan kembali pulang ke Bandung pun, aku masih setuju degan hal itu. Tapi, ada banyak pengalaman dan pelajaran bernilai yang bisa didapatkan di sana dan tidak ada di Bandung. Beberapa di antaranya adalah:

1. Belajar intensif dan fokus


Bayangkan setiap harinya kita harus belajar dalam durasi yang cukup lama. Sepertinya kita akan terbiasa dengan aktivitas belajar dan lambat laun, materi-materi yang kita pelajari juga akan menjadi semakin mudah setiap harinya.

Sebelumnya, aku pernah belajar otodidak, tapi agak sulit mengendalikan mood dan niat. Lalu, aku pun mendaftar les privat di salah satu lembaga les bahasa Inggris dekat UIN SGD Bandung (sekarang sepertinya sudah tidak ada). Baru satu bulan, aku sudah bosan dan tidak datang lagi ke tempat les. Itu bukan pertama kalinya merasa bosan saat sudah terlanjur terdaftar di suatu program. Sering sekali hanya mendaftar, lalu berhenti di tengah jalan. Memang pada dasarnya, sulit mengendalikan mood dan niat.

Makanya, aku pikir jika belajar di luar kota, sebosan apa pun, aku tidak akan berhenti di tengah jalan. Karena, jaraknya jauh sehingga aku tidak bisa pulang begitu saja, lalu karena uang yang dibayarkan tidak sedikit, mungkin aku akan bertekad untuk menyelesaikannya sampai beres.

Untuk menghindari rasa bosan, aku pikir aku harus memilih lembaga les dengan program yang sangat padat. Pikirku bosan hadir saat kita merasa tidak ada tantangan yang harus dihadapi (sederhananya, tidak ada kegiatan/kerjaan).

Tapi ternyata, terlalu padat juga tidak baik. Aku memang tidak merasa bosan dengan cepat, tapi aku mulai lelah dan ingin pulang saja.

Setiap harinya, setelah solat subuh, aku tidak bisa tidur lagi seperti yang biasa aku lakukan di rumah. Karena, kelas pertama dimulai pukul 05.30 WIB. Itu adalah kelas memorizing (setor hafalan percakapan bahasa Inggris). Selanjutnya, memang ada waktu untuk istirahat. Tapi kegiatan terus berlanjut hingga pukul 21.00 WIB! Banyangkan betapa intensifnya aku belajar saat itu.

Oh iya, saat di level awal, materi yang dipelajari adalah:
1. Memorizing
2. Reading (siswa diberi artikel berbahasa Ingggris. dari artikel tersebut, mereka mempelajari tentang kosa kata berdasarkan jenisnya (noun, adjective, verb, dll) juga belajar menyimpulkan maksud dari artikel tersebut).
3. Speaking (siswa diberi waktu untuk mempresentasikan idenya mengenai topik yang berkaitan dengan artikel di kelas sebelumnya).
4. Writing (siswa diminta menulis topik yang berkaitan dengan artikel tersebut menggunakan gaya academic writing).
Sepertinya, para siswa memang diarahkan untuk bersiap menghadapi kelas IELTS. Karena, saat masuk kelas IELTS, kita benar-benar dipersiapkan untuk terbiasa menghadapi soal-soal IELTS. Paginya, masih di jam yang sama, dimulai dengan Listening IELTS (tidak ada memorizing lagi, yeay!), lalu dilanjut kelas Reading IELTS, Writing IELTS, dan Speaking IELTS. Di malam hari ada study night sampai oukul 21.00 WIB untuk membahas writing yang sudah kita kerjakan.

Selain intensivitas, aku juga belajar lebih fokus karena di sana tidak ada satu pun yang membicarakan pacar, pekerjaan, atau hal-hal lain yang menurut umat sana kurang penting. Satu-satunya topik yang selalu dibicarakan adalah rencana studi, beasiswa, dan skor IELTS/TOEFL. Kalau pun ada waktu luang untuk berhenti membicarakan ketiga topik utama tadi, biasanya dipakai nongkrong di kedai kopi, lalu menghabiskan waktu istirahat dengan menyanyi bersama untuk melepas penat.
 

2. Dikelilingi teman-teman dengan mimpi yang sama


Menjalani kegiatan di sana memang cukup berat. Jika tidak ada teman yang menguatkan, sepertinya usai satu bulan berada di sana, aku langsung mengepak barang-barang dan kembali ke Bandung. Syukurnya, teman-teman di sana sudah seperti keluarga. Selain karena tinggal di tempat yang sama, mungkin karena kita juga sama-sama jauh dari rumah.

Meski tidak menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi, kedekatan antara teman sekelas dan teman sekamar seakan mengalahkan berbagai bentuk persahabatan yang pernah aku punya sebelum datang ke sini.

Teman-teman di sana selalu mengingatkan mimpi-mimpi kita saat mulai mengalami demotivasi. Bahkan, pernah salah satu teman kamarku diomeli habis-habisan oleh orang yang sudah seperti kakaknya sendiri. Saat itu dia belum menyiapkan apa pun untuk menghadapi kelas kelas speaking. Dia malu jika nantinya ditertawakan di depan kelas saat dia melakukan kesalahan. Sang kakak langsung mengomel, "Salah itu wajah, di sini memang tempatnya melakukan kesalahan," Katanya.

Selain itu, di sana juga aku bertemu dengan Mizu dan Mozel (panggilan untuk tutor di sana) yang menginspirasi. Rasanya sangat sayang jika langsung menyerah, karena aku bisa belajar dari pengalaman hidup mereka. Selain mengajarkan bahasa Inggris, mereka juga mengajarkan ketangguhan dan kedisiplinan.

Para Mizu dan Mozel di sana tidak hanya menjadi pengajar tetap di sana, tapi sama-sama memburu beasiswa. Jadi, baik tutor maupun siswa, mereka saling berbagi informasi dan saling menguatkan satu sama lain untuk mencapai mimpi dan tujuan masing-masing.

3. Mempertanyakan identitas diri

Jauh dari rumah memang bukan pertama kalinya bagiku. Sejak SMA aku sering pergi ke berbagai tempat untuk mengikuti kegiatan. Terakhir kali, aku pergi ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Tapi, tidak pernah benar-benar pergi sendiri karena selalu bersama teman. Selain itu, tidak pernah lebih dari satu minggu. Sementara, saat ke Pare, aku berangkat sendiri untuk waktu yang cukup lama.

Untuk orang yang tidak pernah benar-benar sendirian di tempat asing, perantauan seakan menjadi termat terbaik untuk mendapat pengalaman dan pelajaran tentang hidup. Karena sendirian, kita bisa menjadi pemilih yang bebas. Maksudnya, kita memiliki kuasa penuh untuk memilih apa yang penting bagi hidup kita, tanpa terpengaruh masukan dari orang-orang terdekat. Lalu, kita pun bebas untuk menjalani pilihan tersebut sesuai dengan cara yang paling kita inginkan.

Aku juga jadi terlatih mandiri dan bertanggung jawab pada prioritas-prioritasku. Bahkan setelah beberapa bulan kembali menjalani rutinitas di Bandung, aku tidak lagi seperti diriku sebelumnya yang teramat sangat peduli pada pandangan orang. 

Aku mulai mempertanyakan tentang indikator kebahagiaan dan kesuksesanku. Lalu, mulai belajar untuk tidak lagi mencontek kebahagiaan orang lain hanya karena aku pikir mereka terlihat bahagia dengan hidupnya. Aku mulai fokus membangun identitasku sendiri.

Kesimpulannya...

Jika hanya tujuanmu berangkat ke Kampung Inggris untuk belajar Bahasa Inggris, sepertinya di kotamu  sendiri hal itu bisa dilakukan. Tapi, jika yang kamu cari lebih dari sekedar mempelajari bahasa asing, kamu harus mencobanya. Jangan lupa juga untuk memilih lembaga yang tepat. Karena setiap lembaga memiliki keunggulannya masing-masing yang akan berbeda dengan kebutuhan setiap orang. Mereka yang lebih senang aktivitas santai tentu tidak cocok memilih lembaga yang menjadwalkan program belajar secara intensif.

Oh iya, di TEST English School, selain belajar Bahasa Inggris, aku juga diarahkan untuk peduli pada orang lain. Saat aku dan teman sekelasku diminta untuk melakukan aktivitas sosial, kami memilih untuk melakukan bedah rumah kecil-kecilan. Lewat program penggalangan dana "Satu Cinta untuk Mbah", kami mengunjungi salah satu nenek di Pare yang tinggal seorang diri. Kami bersama para Mizu dan Mozel menjadi cucu nenek selama satu hari, membantu beliau membersihkan rumahnya, mengirim makanan, membersihkan tubuhnya juga.





Komentar

Postingan Populer