REVIEW BUKU KIM JI-YEONG: LAHIR TAHUN 1982



Buku Kim Ji-yeong: Lahir Tahun 1982 yang ditulis oleh Cho Nam-Joo, seorang penulis program televisi, pertama kali diterbitkan pada 2016 oleh Minumsa Publishing Co., Ltd., di Seoul. Sekitar 3 tahun kemudian, buku ini diterjemahkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

Aku pertama kali mengetahui buku ini lewat direct selling yang dikirim langsung melalui email tanggal 28 Oktober. Gramedia menawarkan diskon 15% untuk pre-order buku ini. Sebagai orang yang suka diskon dan mudah terpengaruh iklan, tentu saja aku langsung memesan dan melakukan transaksi di hari yang sama setelah membaca sinopsisnya. Begini isi sinopsis yang akhirnya membuatku semakin tertarik untuk membaca buku ini:
"
Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para guru pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.
Kim Ji-yeong adalah mahasiswi yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepaskan karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.
Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh.
Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi.
Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.
Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.
"

Saat itu aku pikir, isinya benar-benar novel fiksi biasa yang di dalamnya ada cerita, konflik, dan penyelesaian masalah. Namun, asumsi itu langsung terbantahkan saat membaca bab kedua. Totalnya ada enam bab yang merangkan cerita hidup Ji-yeong di buku ini: Musim Gugur 2015, 1982-1994, 1995-2000, 2001-2011, 2012-2015, dan 2016.

Bab pertama dibuka dengan gambaran tentang kehidupan Kim Ji-yeong dan keluarganya. Lalu,  berlanjut tentang perubahan sikap atau keanehan-keanehan Kim Ji-yeong yang dirasakan oleh suaminya, Dae-hyeon, hingga membuat dia mengajak istrinya menemui psikiater.

Cerita berlanjut pada bab berikutnya yang menceritakan kehidupan Ji-yeong di masa lalu. Menariknya, penulis bukan hanya membahas kehidupan Ji-yeong secara personal, tetapi kehidupan kebanyakan perempuan secara umum pada masa itu. Mulai dari cara orang-orang memperlakukan wanita di rumah, sekolah, kuliah, wawancara kerja, tempat kerja, hingga di lingkungan masyarakat. Saat membaca bab masa lalu Ji-yeong, rasanya kesal setengah mati. Namun, cerita itu benar-benar terjadi, bukan hanya di dunia Ji-yeong yang fiktif, tapi di dunia nyata yang kita tempati. Bahkan, saat penulis menceritakan kalau ibu Ji-yeong adalah yang terpintar di antara ke lima saudaranya tapi tidak bisa melanjutkan sekolah karena saat itu hanya laki-laki yang dianggap perlu bersekolah, aku ingat dulu Mamah pernah menceritakan hal serupa. Mamah bilang, karena keterbatasan biaya, Mamah bahkan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP padahal semasa SD dia selalu senang belajar, membaca buku, dan mendapatkan peringkat tiga besar di kelas. Orang tuanya lebih memilih menyekolahkan anak laki-lakinya dan Mamah harus ikut membantu keuangan keluarga membiayai sekolah dan kebutuhan adik-adiknya.

Bukan hanya cerita tentang sekolah, ada banyak cerita lain yang membuatku terus mengangguk ketika menikmati halaman demi halaman yang disiapkan penulis, sambil berpikir "Benar juga," atau "Kayaknya dulu aku/Mamah/orang lain begitu juga."

Walau tidak ada klimaks atau penyelesaian masalah, buku ini tidak membosankan. Karena penulis selalu memaparkan konflik berbeda di setiap bab. Sepertinya, buku ini memang sengaja dibuat untuk memaparkan praktik misoginis yang terjadi ditengah-tengah masyarakat selama bertahun-tahun dan sebenarnya sangat menyusahkan perempuan.

Penulis membuat buku ini seolah-oleh diceritakan psikiater yang menangani kasus depresi Ji-yeong. Pada bab 2016, pemikiran peserta sengaja dibentuk oleh sang psikiater yang menekankan bahwa ada dunia lain yang ditinggali perempuan dan tidak mudah dipahami oleh laki-laki, bahkan oleh para perempuan sendiri: dunia misoginis.

Namun, meski memahami ketidakadilan yang dialami oleh para perempuan, cerita diakhiri dengan perpisahan sang dokter dengan pekerja dokter lainnya yang seorang perempuan. Dokter perempuan itu harus berhenti bekerja karena kondisi kehamilannya yang lemah. Pada akhirnya, dokter yang menjadi psikiater Ji-yeong itu berpikir bahwa: "Sebaik apa pun orangnya, pekerja perempuan hanya akan menimbulkan masalah apabila mereka tidak bisa mengurus masalah pengasuhan anak. Yang pasti, kami harus mencari dokter yang masih lajang untuk menggantikannya."

Menurutku, tentang buku ini yang tidak menyampaikan penyelesaian masalah atas praktik misoginis, mungkin karena penulis berpikir bahwa masalah-masalah yang dihadapi perempuan (di dunia Ji-yeong) memang akan selalu terjadi pada generasi-generasi selanjutnya. Bukankah walau saat ini dunia sudah meneriakkan isu kesetaraan gender, ketika kembali ke rumah, perempuan tetap menjadi yang paling bertanggung jawab atas pekerjaan rumah, kebutuhan suami, dan pengasuhan anak-anak mereka?

Oh iya, setelah cerita selesai, ada kata pengantar dari penulis dan tulisan "Kim Ji-Yeong Milik Kita Semua" dari Kim Go Yeon-Ju (Sarjana Kajian Perempuan). Dengan membaca ini, aku semakin sadar kalau ini memang bukan sekedar buku fiksi biasa. Karena setelah menyelesaikannya, para pembaca akan dibuat sadar tentang ketidakadilan yang dialami perempuan dan dipaksa merenung, memikirkan solusi yang bisa diperbaiki untuk kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak perempuan di generasi mendatang.








Komentar

Postingan Populer