REVIEW BUKU RENTANG KISAH


Kata orang, melakukan kesalahan saat memulai sesuatu yang baru itu hal baik karena bisa menjadi pengalaman. Dan, pengalaman adalah guru yang paling berharga. Tapi, di zaman “tutorial” ini, kayaknya nggak mesti melakukan kesalahan dulu untuk mendapat pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran. Karena, baik di buku, status media sosial, atau blog orang lain, banyak banget pengalaman-pengalaman yang bisa diambil untuk proses pembelajaran.
***
Siang tadi, aku selesai baca “Rentang Kisah” karya Gita Savitri Devi, yang orang-orang kenal sebagai Gitasav, seorang blogger, vlogger, influencer. Sebenarnya, buku ini sudah terbit sejak 2017. Dan, saat tahu Gitasav nulis buku, aku langsung cari informasi tentang kapan buku ini akan tersedia di Gramedia Bandung. Begitu tahu kalau bukunya sudah bisa dibeli di Gramedia Bandung, aku langsung ke sana, berniat membeli buku ini. Kenapa? Karena… sepertinya akan inspiring banget.
Aku berekspektasi kalau buku ini akan menceritakan tentang pengalaman-pengalaman dia dari awal mengurus persiapan kuliah di Jerman, bagaimana sulitnya menghadapi hidup di sana, dan bagaimana dia menghadapi itu semua. Hmmm… Ya, aku berpikir kalau buku ini akan jadi buku “pedoman” kuliah di Jerman, kayak buku-buku yang biasa anak PPI buat dan bisa diunduh gratis di Google gitu.
Jadi, saat dapet buku yang udah dibuka (sample) dan baca beberapa bagian di awal, aku langsung memutuskan untuk nggak jadi beli buku ini.
“Kenapa?” kata Emir yang mengantarku waktu itu. Karena dia tahu banget kalau aku sudah membahas buku ini sejak berminggu-minggu yang lalu, sebelum akhirnya dia ada waktu mengantarku ke toko buku.
“Nggak sesuai ekspektasi. Kayaknya, isi bukunya sekedar curhatan aja. Atau bahkan, bisa jadi sekedar tulisan-tulisan dia di blog yang dibukukan.”
Memang bener, di bagian akhir ada tulisan Gitasav yang sudah pernah aku baca di blognya. Dan, meski begitu, aku tahu sih bukunya pasti tetap bagus untuk memotivasi diri. Tapi rasanya, sayang banget ngeluarin duit sekitar 65K untuk mengetahui kisah hidup seseorang. Maklum, daftar ‘jajan’ yang waktu itu cukup banyak, nggak berbanding lurus dengan isi dompet. Haha
***
Terus, beberapa hari yang lalu, temenku bilang, “Gitasav nikah, lho.” Dan, nggak lama dia langsung ngirim gambar buku ini via WA. Sepertinya, temenku itu akhirnya tertarik beli karena lagi heboh nikahan Gitasav, deh. WKWK.
Walau dulu nggak niat beli, bukan berarti nggak niat baca. Jadi, aku langsung minjem bukunya setelah dia selesai baca.
Di buku setebal 207 halaman ini, penulis memang sekedar menceritakan pengalaman hidupnya. Biasanya aku melabeli buku jenis ini sebagai diary yang dibukukan. Tapi, padanan kata dan cara penulis menceritakan pengalamannya sangat rapih dan nggak bertele-tele. Jadi, nggak bikin bosan. Selain itu, cerita-ceritanya juga ditulis TANPA DRAMA (menurutku). Jadi, pembaca seakan diarahkan untuk melihat poin-poin positif yang bisa penulis dapatkan berkat kesulitas-kesulitan yang dialaminya. Hal ini, di satu sisi, sangat membatuku untuk ikut berpikir positif. Jadi, selama kurang dari 2 jam baca buku ini, sering banget bilang, “Oh, iya sih.” atau “Bener juga, ya…”
Dulu aku pernah baca buku, tapi lupa buku apa. Aku baca tulisan ini (kurang lebih, ya. Soalnya, lupa-lupa ingat WKWK): “Jangan berhenti menulis, karena kamu nggak akan pernah tahu kebidupan mana yang bisa kamu sentuh lewat tulisan-tulisanmu.”
Bagi beberapa orang, buku ini “sekedar” curhatan penulis. Dan, pada awalnya aku juga termasuk orang-orang itu. Tapi, bagi beberapa orang lainnya, buku ini bisa jadi ‘bekal’ pengalaman untuk pembelajaran. Karena, belajar dari pengalaman kan nggak selalu berasal dari pengalaman yang dialami oleh diri sendiri.
***
Jadi, buku ini terdiri dari 12 bab tulisan dan satu bab terakhir yang merupakan kumpulan dari 5 tulisannya di blog.
Di bagian awal, penulis menceritakan tentang ibunya. Dan, menurutku, Ibunya benar-benar ibu yang luar biasa. Aku bahkan berpikir ingin meniru beberapa cara yang dilakukan ibunya untuk mendidik anak.
Baca tulisan bagian ini, aku ikut mengiyakan sosok ibu yang selalu salah. Walau ibuku nggak menakutkan, selalu ada saja aspek yang aku salahkan tentang cara ibu berlaku atau berpikir. Bahkan, saat aku selesai membaca buku “I Love Me: Gimana Jadi Remaja Pede n’ Smart” karya Val J. Peter & Ron Herron (judul aslinya: Who’s in the Mirror? Finding The Real Me” waktu kelas 2 SMA dulu, aku langsung membuat status di akun Facebook dengan mengutip apa yang aku baca di halaman 94: “Masa remaja adalah suatu masa ketika anak-anak menolak untuk percaya bahwa suatu hari nanti mereka akan sama bodohnya dengan orangtua mereka.” Bodoh yang ku maksud adalah hal-hal yang sudah atau sedang dilakukan ibu untukku tapi aku menganggap semua itu adalah sesuatu yang “selalu salah.” (This status has been deleted, btw WKWK. I’m sooo sorry mom)
Kalau temenku yang minjemin buku baca artikel ini, dia pasti men-judge saat ini aku sedang “meng-gita-kan diri”. LOL. Tapi, sepertinya bukan hanya aku, banyak orang yang juga berpikir kalau ibu memang selalu salah saat mereka remaja.
Selanjutnya, Gita menceritakan tentang bagaimana dia menemukan apa yang dia pikir sebagai passion-nya. Tapi, harus melepaskannya dengan pilihan lain yang akhirnya dia ambil: kuliah di Jerman. Dia juga bercerita tentang bagaimana sulitnya ‘bertahan hidup’ di sana membuat dia sadar kalau dia nggak bisa menjadi pemalas seperti dulu. Untuk mengejar ketertinggalannya, dia menghabiskan waktunya mengerjakan soal-soal latihan. Saat baca dia selalu menolak pergi main karena sudah banyak soal latihan yang mengantri untuk dikerjakan, aku langsung ingat dengan soal-soal latihan perisapan IELTS ku yang sejak satu tahun lalu sudah selesai di-print, tapi tidak tersentuh sampai saat ini karena keasyikan main.
Lalu, dia juga bercerita tentang bagaimana dia bertemu dengan pasangannya saat ini dan bagaimana pasangannya memeluk Islam.
Senangnya, cerita selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keihklasan dan syukur dalam menjalani hidup. Untuk mereka yang punya watak tempramen, egois, dan selalu memaksakan kehendak, buku ini bisa jadi reminder kalau:
Meski kita adalah pemain utama dalam garis hidup ini dan bisa melakukan apa pun yang kita mau, hasil akhirnya tetap ditentukan oleh sutradara kehidupan: Allah Swt.
Bagian yang paling aku suka adalah tulisan tentang “Nasihat untuk Gita.”
Di halaman 159 (cet. Ke-2), Gita nulis:
“Aku juga selalu bilang kepada diri sendiri untuk berdamai dengan diri sendiri. Karena kita diberi jasad, diberi ruh, untuk diajak berteman. Bukan untuk dimusuhi. Bukan untuk dibego-begoin ketika sedang terpuruk. Bukan untuk dijelek-jelekkin ketika kita melihat ada orang yang jauh lebih cakep dari kita.”
Dan, di halaman 160 (cet. Ke-2), Gita nulis:
“Dan aku harus selalu sadar bahwa dunia ini sebenarnya bukanlah tuntutan. Karena sesungguhnya nggak ada yang menuntut kita harus punya particular life atau particular things yang harus dicapai. Cuma keadaan. Dan aku nggak mau kalah sama keadaan.”
Tulisan-tulisan itu seakan jadi nasihat langsung untuk pembaca yang selama ini sudah terlalu lama hidup sebagai seorang “penuntut” dan tidak pandai bersyukur. Seakan mengingatkan kalau sekarang saatnya beristirahat sejenak dengan bersyukur sebelum mulai membuat daftar pencapaian dan menuntut kembali diri sendiri untuk mewujudkan itu semua. Bersyukur BUKAN berhenti “menuntut” diri, karena pada dasarnya, cara manusia menjalani kehidupannya bergantung dari tuntutan-tuntutan yang diberikan dirinya sendiri.
Hanya saja, dengan bersyukur, sepertinya tuntutan-tuntutan itu tidak akan menjadi beban karena diberikan atas dasar apa yang benar-benar kita sadari kalau kita memang membutuhkanbya. Bukan apa yang kita pikir ORANG LAIN BERPIKIR KITA MEMBUTUHKANNYA.
***
Untuk kalian yang selama ini egois, keras kepala, dan selalu memaksakan kehendak, sepertinya buku ini bisa menjadi bacaan yang tepat saat kalian mulai lelah dan ingin berusaha untuk berhenti hidup seperti itu.

Komentar

Postingan Populer