BELAJAR BERSYUKUR LEWAT SAKIT
Ternyata, diri membutuhkan waktu selama 23 tahun untuk mengucap syukur terhadap proses buang hajat yang lancar. Selama ini, diri dengan mudahnya menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sederhana, hanya bagian dari proses kerja organ-organ tubuh pada umumnya. Padahal, proses kerja organ-organ di dalam tubuh pun sejatinya tidak sederhana. Astaghfirullahaladzim. Bayangkan betapa kufurnya diri selama ini.
Sudah tiga hari tubuh terkapar sakit. Selama tiga hari kemarin, jangankan berangkat kerja, sekadar menghampiri meja makan saja rasanya sulit. Kepala terasa sangat pening dan berat, tubuh lemas, perut juga keram. Ini hari keempat, jadi sudah membaik dan sudah harus berangkat kerja seperti biasa.
Sekitar pukul 03.00 WIB, aku terbangun tanpa alarm. Selama tiga hari sebelumnya, aku juga biasa dibangunkan tubuh pukul 22.00, 01.00, 04.00 WIB untuk menyicil buang hajat. Tapi hari ini, syukur lah hanya satu kali. Rasanya tanpa dijelaskan bagaimana diare yang aku alami pun kalian bisa mengerti betapa menyiksanya penyakit itu. Lantas, saat sadar kondisi tubuh semakin baik usai dari toilet subuh tadi, aku mengucap syukur. Benar-benar berterima kasih karena sepertinya, pencernaanku sudah menyelesaikan masalahanya.
"Alhamdulillah," Ucapku sungguh-sungguh. Lalu, istighfar pun terucap saat sadar atas kekufuran diri. "Bagaimana bisa baru berterima kasih sekarang atas nikmat yang sudah dirasakan bertahun-tahun?" Aku tak habis pikir.
Namun, kabar baiknya ada pelajaran yang bisa dipetik pagi ini. Hikmah tentang konsep syukur yang selama ini sering aku pertanyakan. Walau konsep syukur yang aku pelajari pagi ini mungkin konsep paling sederhana, aku tetap membutuhkannya sebagai bahan untuk mempelajari konsep syukur yang lebih rumit nantinya.
Berterima kasih itu tidak sederhana
Menyadur dari muslim.or.id, secara bahasa, syukur adalah pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut” (Lihat Ash Shahhah Fil Lughah karya Al Jauhari). Dalam bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih.
Tahun 2012 lalu, aku pernah bekerja sebagai costumer service. Tugas pertama ku saat itu adalah menangani keluhan konsumen secara langsung. Produk yang perusahaan kami layankan adalah produk barang berupa modem dan kartu sim. Jadi, keluhannya selalu sama, seperti modem tidak berfungsi karena tidak bisa terhubung ke jaringan internet atau kartu sim tidak terdeteksi ponsel.
Setiap hari, berbagai karakter konsumen datang menyampaikan keluhannya dengan cara yang berbeda-beda. Beberasa sangat tenang, tapi ada juga yang cukup kasar. Namun, bagaimana pun cara mereka menyampaikan keluhan, setelah kami membantu mereka menyelesaikan keluhannya, kami tetaplah orang pertama yang harus berterima kasih. Sementara, beberapa konsumen mungkin tidak akan berterima kasih karena berpikir terima kasih mereka telah terwakilkan oleh gaji yang kami dapatkan.
Walau mengucapkan terima kasih itu mudah, nyatanya tidak sederhana. Mereka yang bekerja di bidang custumer service dan semacamnya mungkin menebar gratis ucapan terima kasihnya. Tapi, ada beberapa orang yang perlu mempertimbangkan banyak hal saat dia harus mengucap dua kata tersebut.
Terkadang, pertimbangan seperti: "Memang dia dibayar untuk melakukan hal itu," atau "Itu memang sudah menjadi tugasnya." Mampu menjadi pembatal kata terima kasih terucap.
Aku sendiri, saat itu tidak banyak memikirkan makna dari terima kasih yang harus aku ucapkan. Pikirku, itu memang prosedur yang sudah lama diterapkan. Aku cukup menurutinya saja. Lalu, setelah tidak lagi bekerja di sana, aku sadar bahwa aku berterima kasih karena mereka memberikanku pekerjaan. Pada dasarnya, tanpa keluhan mereka, profesiku saat itu tidak mungkin ada.
Lalu, bagaimana dengan ungkapan terima kasih pada Dia yang telah memberikan kehidupan?
Jangankan berterima kasih pada Allah Swt. yang mengizinkan darah dalam tubuh terus mengalir untuk menyuplai nutrisi dan oksigen pada otak; yang telah menciptakan tubuh dan segala organ di dalamnya, menciptakan otak yang mampu menugaskan lidah mengecap ragam rasa dalam hidangan, sampai memerintah dubur untuk melakukan proses defekasi feses. Terkadang, berterima kasih pada ibu yang menyiapkan hidangannya saja lupa.
Benar, berterima kasih itu tidak sederhana. Semakin terbiasa dengan kasih yang mengelilingi, proses menerimanya terkadang tidak melibatkan emosi. Hanya menerima tanpa mengungkapkan betapa bahagianya diri terhadap apa yang diberi bukan lah berterima kasih. Karena tanpa ungkapan, sebesar apapun kasih (baca: karunia) yang diri terima akan dipersepsikan sebagai sesuatu yang sepele.
Mengeluh ketika tidak lagi menerima kasih
Saat diri terbiasa menerima kasih tapi juga menyepelekannya, dia akan menuntut ketika kasih tak lagi membersamai. Sederhananya, sebelum sakit, aku mengkonsumsi makanan pedas semauku. Sudah lama juga aku tidak menjaga pola makan. Tapi, baik dengan makanan dan pola makan yang berantakan itu, Allah Swt. tetap memberiku kesehatan. Aku menerima sehat itu sebagai sesuatu yang wajar. "Tubuhku memang kuat, seperti orang-orang pada umumnya." Pikirku.
Lalu, tidak lama kemudian pencernaanku bermasalah. Tubuh mulai demam, memberi sinyal bahwa perut tidak baik-baik saja. Aku pikir, tubuh mengecewakanku. Ternyata dia lemah.
Setelah terbiasa ditemani tubuh dengan kondisi yang prima, saat dia menurun, tentu aku tak terima. Aku menuntut diri untuk segera pulih. Obat dari dokter rutin aku konsumsi.
Setelah merasakan sakit, barulah sadar kalau sehat bukan hal sepele. Aku harus mengungkapkan rasa bahagiaku terhadap organ-organ tubuh yang telah berfungsi sebagaimana mestinya selama lebih dari 20 tahun ini lewat terima kasih. Sedari dulu, seharusnya aku bersyukur pada Allah Swt. yang telah menciptakan organ-organ tersebut dan mengizinkan mereka untuk terus berfungsi hingga saat ini.
Sungguh, tak satu pun nikmat Tuhan yang bisa diri dustakan.
Komentar
Posting Komentar