MENIKAH TANPA SALING MEMILIKI





Pernikahan akan menuntut seseorang untuk bekerja sama dengan pasangannya. Mulai dari hal kecil seperti membersihkan tempat tidur, sampai hal besar seperti membeli rumah. Kita yang sudah biasa menjalani kehidupan seorang diri, tiba-tiba harus bersedia untuk ditemani. Tidak bisa lagi memutuskan permasalahan sendiri, karena ada orang lain yang sudah menjadi teman diskusi dan berbagi. Sampai akhirnya suatu saat nanti, kita terbiasa ditemani dan justru merasa asing saat sendiri.

Kita tahu kerja sama tidak mudah. Jangankan harus bekerja sama selama 24 jam per hari seumur hidup, mengerjakan tugas kelompok saja terkadang melelahkan. Bukan tugas yang jadi penyebab lelah, tapi proses menyamakan frekuensinya. Maka, sangat wajar jika ada banyak pernikahan yang berakhir di meja hijau. Karena kerja kelompok saja banyak yang bubar ditengah jalan, membiarkan sosok dominan menanggung tugas sendirian.

"
Oleh karena itu, jangan paksakan untuk menikah jika sejak awal kamu sadar sudah tidak nyaman bekerja sama dengan pasanganmu. Walau akhirnya kamu lebih dulu sadar tentang ambisi cinta romantis memenuhi pikiran dan hatimu. Makanya kamu meyakinkan diri, berkali-kali berpikir,
“Nanti kalau sudah menikah, pasti dia berubah.”
Setelah itu, kamu akhirnya menikah, tetapi pasanganmu tak juga berubah. Kamu belum menyerah. Pikirmu, kamu yang bisa mengubah. Kamu lupa bahwa aturan main yang harus kamu ingat tentang konsep perubahan adalah ketidakmungkinannya untuk dipaksakan. Padahal, kamu pernah merasakan sendiri betapa susahnya menjauh dari kebiasaan walau sudah bersikeras.
Lalu, kamu kecewa sendiri.
"
Andai pernikahan adalah sebuah perusahaan, maka status suami, istri, dan anak adalah profesi. Dengan konsep seperti itu, seharusnya tidak ada lagi rasa kecewa ketika masing-masing mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.

Selama ini, banyak wanita yang berpikir bahwa menikah adalah mengabdikan diri pada suami. Seorang istri memang diharuskan untuk taat dan patuh pada suami. Tapi, dia harus tahu, bahwa taat dan patuh tersebut merupakan bentuk pengabdian pada Allah Swt., bukan suami. Artinya, setiap usaha yang istri lakukan untuk menyenangkan suami harus didasarkan pada ketaatan terhadap Allah Swt. Begitu pun sebaliknya yang harus dilakukan oleh seorang suami.

Sederhananya, agar tidak saling kecewa, suami istri harus menerapkan konsep mencintai karena Allah. Maka, karena Allah Swt., menghadirkan seorang istri bagi laki-laki untuk membuatnya merasa nyaman (baca: QS. Ar-Rum: 21), istri harus selalu menyayangi dan bersikap lembut pada suami. Selama menjalankannya, dia juga harus sadar kalau hal itu dilakukan atas perintah Allah Swt.

Cinta itu Mengikat, Bukan Memiliki

Keharusan bekerja sama dalam rumah tangga membuat suami dan istri saling terikat satu sama lain. Mereka terikat untuk menuntaskan kewajibannya masing-masing. Namun, di luar ikatan pernikahan itu, baik suami mau pun istri masih lah seorang individu. Mereka memiliki kehidupan masing-masing dan menginginkan kendali atas hidupnya sendiri.

Mereka memang tinggal dalam satu rumah yang sama, tapi sangat mungkin memiliki kecenderungan yang berbeda. Artinya, hidup bersama tidak menjadikan istri adalah milik suami, pun sebaliknya. Karena, cinta bukan membiarkan seseorang dipeluk erat hingga kaku tak bergerak. Cinta hanya sebatas membiarkan diri ditemani yang lain.

Saling mengikat, tapi tidak memiliki. Kita bisa bersama pasangan kita saat ini, bukan karena rasa saling memiliki, tapi karena merasa harus bertanggung jawab terhadap ikatan. Pada dasarnya, manusia memang tidak pernah benar-benar memiliki sesuatu. Bahkan, anak yang keluar dari rahim seorang wanita pun tidak benar-benar menjadi milik wanita itu. Makanya orang bilang anak hanya titipan, bukan kepemilikan. Begitu pun cinta.

Memahami konsep ini menjauhkan kita dari rasa kecewa. Tidak mungkin seseorang merasa kecewa jika tidak lebih dulu menggantungkan diri pada harapan yang semu.

Dengan memahami bahwa cinta tidak menjadikan kita memiliki seseorang, yang menjadi objek perhatian saat mencintai seseorang bukan lah orang itu, tapi diri sendiri. Diri akan lebih sadar dan sering berkaca apakah sudah menjalankan kewajiban sebagai pasangan dengan sebaik-baiknya untuk menunjukkan cinta? Diri juga akan berhenti menuntut diberi cinta. Karena, konsep cinta yang seperti ini adalah cinta yang tidak pernah berhenti memberi.

Kebahagiaan juga tidak terletak pada mudah tidaknya pasangan kita diatur. Karena kita tahu pasti bahwa kita tak akan mengatur. Kita hanya akan mengingatkan tentang kewajiban yang harus dilakukannya dan sadar terhadap hak yang harus kita penuhi untuknya. Tidak lagi menggerutukan sikapnya yang ternyata belum sepenuhnya kita kenali. Kita juga berhenti mempermasalahkan sikap-sikap yang tidak kita sukai dan sadar bahwa memang seperti itu lah dia seutuhnya.



















Komentar

Postingan Populer